Kisah Dibalik Foto Serah Terima Al-Qur'an Abah Syekhuna Dengan Soeharto - Kang Aim Cimandor

Terbaru

Post Top Ad

Monday, March 5, 2018

Kisah Dibalik Foto Serah Terima Al-Qur'an Abah Syekhuna Dengan Soeharto

Kang Aim Cimandor, Cirebon 4/3/18 :  Bagi kalangan Jamaah Asysyahadatain, mungkin sudah tidak asing lagi terhadap beredarnya foto/poster Syekhunal Mukarrom Abah Umar sedang menerima Tafsir Al-Qur'an oleh Presiden RI pada saat itu, Soeharto. Bagi generasi muda Jamaah Asysyahadatain tak banyak yang tau kisah yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. 

Tulisan ini terinspirasi oleh pertanyaan beberapa teman terkait foto tersebut. Sejarah merupakan bagian dari sumber ilmu pengetahuan, kerap kali butiran-butiran hikmah dalam bingkai sejarah mempengaruhi masa depan ummat dalam bersikap. Saya berusaha menghadirkan se-objektif mungkin sejarah yang tercecer tentang perjalanan hidup dan peristiwa penting lainnya yang berkaitan dengan Syekhuna. Sejarah yang terdokumentasikan dengan baik dapat memutus kesenjangan informasi, yang kini sering menjadi penyebab ketertinggalan serta perpecahan diberbagai kelompok. 

Serah terima Tafsir Al-Qur'an Abah Umar dengan Presiden Soeharto
Photo tersebut pertama kali saya lihat dengan jelas dirumah saya sendiri sejak saya kecil (Alhamdulillah), begitupun Tafsir Alquran yang diserahkan oleh Presiden Soeharto saya sempat memegangnya yaitu berupa Al-qur'an dan terjemahannya.

Bapa saya yang pertama menceritakan perjalanan kisah tersebut, karena pada saat ke Jakarta kakek saya ikut menemani syekhuna ke Jakarta, dan dipertegas oleh KH. Idris Anwar Kuningan yang secara langsung mengawal syekhuna dimana pada saat itu, beliau berperan sebagai juru bicara keorganisasian.

Sebelum terjadinya kisah ini, sekitar tahun 1965 jamaah Asysyahadatain mengalami pembekuan ajaran oleh pemerintah, dengan jalan musyawarah, akhirnya jamaah asy-syahadatain dilegalkan oleh pemerintah.

Sebagai bukti pengakuaan pemerintah terhadap Jamaah Asy-syahadatain, maka Abah Syekhuna mendapatkan surat panggilan ke istana negara, namun pada waktu yang telah ditentukan dalam surat tersebut, terlihat Syekhuna masih duduk di panggung dan tidak ada tanda-tanda keberangkatannya ke Jakarta. Akhirnya Abah Idris Anwar memberanikan diri untuk bertanya, maka Syekhuna pun menjawab bahwa dirinya tidak akan pergi ke istana negara dengan alasan bahwa dirinya bukanlah sosok yang kemayu pada jabatan dan pemerintah.

Satu bulan kemudian Syekhuna mendapatkan surat panggilan ke istana negara dari presiden Soeharto, kali ini beliau mempersiapkan keberangkatannya ke Jakarta dengan membawa para santrinya sekitar 9 orang, dari munjul pesantren ada Kyai Khazim dan Ky. Fatoni (kakek penulis) tak ketinggalan, KH. Idris Anwar Kuningan juga turut serta. Menurut catatan (Alm) Ky Fatoni peristiwa ini terjadi pada Jumat 2 jumadil awal / 25 juni 1971.

Syekhuna, pada masa itu memakai pakaian yang sangat jarang digunakannya bahkan menggunakan dasi khasnya yaitu dasi kupu-kupu. Sesampainya di Istana Negara, Syekhuna disambut dan dipersilahkan untuk duduk sambil menunggu Bapak Presiden datang. Setelah Presiden Soeharto tiba, semuanya berdiri dan syekhuna pun memeluk tubuh presiden dengan hangatnya, disaat semuanya dipersilahkan duduk, dan Presiden Soeharto pun duduk, Syekhuna malah duduk diatas meja, sehingga para pengawal menodongkan senjata, namun hal ini dimaklumi oleh Bapak Presiden, sehingga Presiden Soeharto yang menghalau langsung para petugas di Istana, serta memberikan kebebasan kepada Syekhuna, posisi ini terus berlangsung selama obrolan berjalan.

Sikap Syekhuna yang sedari awal tidak langsung merespon panggilan dari presiden Soeharto ditambah Syekhuna yang enggan duduk dikursi menurut saya sebagai sikap kritis Syekhuna terhadap pemerintah pada saat itu. Syekhuna memenuhi panggilan sebagai sikap taat kepada pemerintah, namun dengan disertai simbol-simbol perlawanan dengan sikap yang dianggap nyeleneh. Terlebih, panggilan tersebut juga dilatarbelakangi oleh pembekuan Jamaah Asysyahadatain.



KH. Idris Anwar, sempat diminta oleh Presiden Soeharto untuk menjadi menteri agama, namun hal ini tidak direstui oleh Syekhuna. Maka setelah itu barulah Penyerahan 3 Jilid Kitab Al-qur'an dan terjemahnya, (1 Jilid terdiri dari 10 Juz) kepada Syekhuna sebagai simbol pengakuan pemerintah terhadap Jamaah Asy-Syahadatain.

Beberapa minggu kemudian Presiden Soeharto berkunjung ke Jamaah Asy-Syahadatain dan disambut oleh Syekhuna bertempat di Karang Pandan (Citemu), disana Presiden Soeharto melakukan penanaman Pohon Beringin (pohong tersebut dipagari dengan bambu-bambu agar tidak terganggu, yang sekarang posisinya didepan Masjid Asy-Syahadatin Citemu).

Selesai menanam Pohon Beringin Syekhuna pun Dawuh;

Weringin Kurung Uwoe Kandek
Gage kang durung-durung aja lembek

disambut oleh seruan suara Kyiai Mudrik;

Iki Zaman weringin uwoe kandek   
Kita melu ingkang rikat aja lembek

Kandek iku ibarat kita menusa
Islam tetep iman ilang ora kerasa

Weringin kurung dadi ratune kekayon
Go milari Syahadat loro sapa sing akon

Kula melu nyangkolaken kandek bodol
Ning weringin Ali Nabi jaluk di gondol

Setelah itu Syekhuna berpesan kepada Presiden Soeharto :
Cukup Patang Windu Kurang Loro
Pak Harto pun mengangguk sebagai tanda mengerti. 

Oleh : Abdul Khakim Maula
Editor : Muhammad Arifin

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad